Dalam pos

PorosBekasi.com – Di ambang penutupan tahun anggaran 2025, kinerja keuangan Pemerintah Kota Bekasi menuai sorotan.

Data postur APBD yang tercatat di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah Kementerian Keuangan menunjukkan realisasi pendapatan dan belanja jauh dari kata optimal.

Di balik angka-angka itu, publik dihadapkan pada ironi, uang tersedia, tetapi dampaknya minim dirasakan masyarakat.

Dari total target pendapatan daerah sebesar Rp7,254.02 miliar, realisasi hingga akhir tahun baru mencapai Rp5,079.53 miliar atau 70,02%.

Capaian ini menegaskan adanya jurang lebar antara perencanaan dan eksekusi fiskal di Kota Bekasi.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menjadi tulang punggung kemandirian fiskal pun belum menggembirakan. Dari target Rp4,122.62 miliar, realisasi baru menyentuh Rp2,894.94 miliar atau 70,22%. Pajak daerah, sumber utama PAD, bahkan hanya terealisasi 69,39 persen, yakni Rp2,408.63 miliar dari target Rp3,470.97 miliar.

Retribusi daerah tak jauh berbeda. Dari pagu Rp550,84 miliar, realisasi berhenti di angka Rp373,06 miliar atau 67,73%. Satu-satunya pos yang nyaris sempurna adalah hasil pengelolaan kekayaan daerah yang mencapai 95,22% dari target Rp14,95 milyar.

Sedangkan lain-lain pendapatan asli daerah yang dipisahkan yang sah sebesar Rp85,86 milyar terealisasi Rp99,01 milyar atau setara 115,31%.

Pendapatan transfer pemerintah pusat sebesar Rp2,362.30 milyar terealisasi Rp1,502.74 milyar atau 63,61%.

Sedangkan pendapatan transfer antar daerah Rp769,10 milyar terealisasi Rp681,85 milyar atau 88,66%.

Untuk Belanja Daerah, dari total pagu yang ditetapkan Rp755,37 milyar baru terealisasi Rp4,181.35 milyar atau baru capai 55,34%, yang terdiri dari belanja pegawai Rp2,861.45 milyar terealisasi Rp2,26.80 milyar atau setara 70,83%.

Untuk belanja barang dan jasa dari total pagu Rp2,826.35 milyar baru terealisasi Rp1,556.33 milyar atau setara 55,06%.

Sementara capaian terendah pada Belanja modal dengan pagu Rp1,379.12 milyar terealisasi Rp289,93 milyar atau baru 21,02%.

Sedangkan belanja lainnya terdiri dari Belanja Subsidi Rp3,70 milyar belum terserap, untuk belanja hibah dari total Rp279,67 milyar terealisasi Rp166,95 milyar atau 59,69%.

Sedangkan belanja bantuan sosial (Bansos) dengan pagu anggaran Rp163,36 milyar terealisasi Rp122,23 milyar atau 74,82%.

Belanja tak terduga dengan total pagu anggaran sebesar Rp41,72 milyar terealisasi Rp19,10 milyar atau setara 45,79%.

Untuk pembiayaan daerah totalnya mencapai Rp301,35 milyar terealisasi Rp206,75 milyar atau 68,61%, Penerimaan pembiayaan daerah Rp358,85 milyar terealisasi Rp264,25 milyar atau 73,64%, Sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya (Silpa) Rp358,85 milyar terealisasi Rp264,25 milyar atau 73,64%.

Sedangkan pengeluaran pembiayaan daerah atau penyertaan modal darah pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebesar Rp57,50 milyar.

Diketahui, Serapan rendah artinya yang 30% pasti belanja pisik yang berhubungan langsung dengan belanja yang merasakan masyarakat.

Artinya, pembangunan fisik dan program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan warga menjadi korban utama. Jalan, fasilitas umum, dan layanan dasar yang seharusnya hadir justru tertahan di meja birokrasi.

Belanja hibah dan bantuan sosial memang menunjukkan angka lebih baik, tetapi tetap menyisakan ruang besar yang tak tersentuh.

Belanja tak terduga pun belum dimaksimalkan, meski kerap dijadikan alasan fleksibilitas anggaran.

Kondisi ini memperkuat kritik lama, belanja rutin selalu aman, belanja publik selalu tertinggal. Serapan rendah pada sektor strategis mencerminkan kinerja yang dinilai “jeblok”, akibat pola pengelolaan yang lebih berorientasi pada kepentingan operasional aparatur ketimbang kebutuhan masyarakat.

Penempatan pejabat yang dinilai tak berbasis kompetensi disebut-sebut menjadi akar persoalan. Dampaknya sistemik, perencanaan lemah, eksekusi lamban, dan rakyat pembayar pajak menanggung akibatnya.

Meski penempatan pejabat merupakan hak prerogatif kepala daerah, publik menilai kebijakan politik tak boleh mengorbankan kepentingan warga.

Di tengah kritik tersebut, muncul pula perbedaan klaim. Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) menyebut capaian PAD sudah menyentuh 83 persen.

Namun data resmi yang disampaikan ke Dirjen Perimbangan Keuangan justru menunjukkan angka sekitar 70 persen.

Selisih ini tentunya memantik pertanyaan serius soal transparansi dan akurasi laporan keuangan daerah.

Porosbekasicom
Editor