PorosBekasi.com – Konflik dua legislator Kota Bekasi, Arif Rahman Hakim (PDIP) dan Ahmadi Madong (PKB), yang awalnya sekadar persoalan personal, kini melebar menjadi krisis politik lokal.
Langkah Ketua DPC PDIP Kota Bekasi Tri Adhianto bersama Sekretaris DPC Ahmad Faisyal Hermawan dinilai justru menyeret partai ke jurangan konflik pribadi.
Sumber internal banteng moncong putih itu menilai, manuver elit DPC bukan hanya gegabah, tetapi juga membahayakan marwah PDIP sebagai partai besar.
“Ini jelas keliru dan tidak etis. Perseteruan dua anggota DPRD adalah persoalan pribadi, bukan persoalan institusional. Tapi justru elit partai seperti Mas Tri dan Faisal malah menggiringnya menjadi konflik antar partai,” ujar salah satu kader PDIP yang enggan disebutkan namanya, Jumat (26/9/2025).
Awal mula polemik terjadi setelah Madong melaporkan dugaan penganiayaan oleh ARH. PKB pun secara resmi menyatakan sikap untuk mendampingi kadernya ke jalur hukum. Namun sehari berselang, PDIP Bekasi membalas dengan langkah ekstrem, yakni dengan mengerahkan 120 pengacara untuk membela ARH.
Alih-alih menenangkan suasana, keputusan ini justru menimbulkan gelombang protes dari dalam tubuh PDIP sendiri.
“Ironis. Ketua DPC bukannya menjadi penengah, malah membiarkan bahkan mendukung upaya politisasi konflik pribadi. Ini mencoreng wajah partai,” lanjut kader tersebut.
Menurutnya, dari kalangan internal mempertanyakan dasar urgensi partai menggelontorkan sumber daya besar demi konflik individu, yang bahkan belum tentu terkait tugas kelembagaan.
“Kami sebagai kader sangat kecewa. Urusan pribadi Arif dibawa ke meja partai. Kenapa partai harus keluar uang dan tenaga sebesar itu untuk kasus yang belum jelas? Ini sikap yang berlebihan dan melecehkan kesadaran politik publik,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menuntut agar Dewan Kehormatan DPP PDIP segera turun tangan. Menurutnya, manuver Tri dan Faisal tidak hanya tidak dewasa, tetapi juga mempermalukan institusi.
“Sebagai kader, saya minta dewan kehormatan DPP PDIP menjaga marwah partai ini. Jangan sampai partai besar sekelas PDIP digeret-geret ke dalam kubangan konflik personal oleh elit lokal yang sedang bermain api,” katanya dengan nada tajam.
Ia merasa langkah emosional ini berpotensi membuka celah perpecahan antarpartai di tingkat lokal. Padahal, sebagai partai nasionalis, PDIP seharusnya menjadi teladan dalam menjaga etika politik.
“PDIP bukan partai yang reaktif. Tapi ini terlihat seperti langkah defensif yang dibungkus emosi dan loyalitas buta. Kami butuh pemimpin yang bisa membedakan mana urusan partai, mana urusan individu,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan