Dalam pos

Oleh: Naufal Al Rasyid, SH., MH 
(Direktur LBH FRAKSI ’98)

 

PADA prinsipnya delik suap tidak berakibat langsung terhadap kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Karena sejumlah uang ataupun benda berharga yang diterima oleh pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara sebagai hasil perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya kerena jabatan atau kedudukan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, bukan berasal dari uang negara atau aset negara melainkan aset orang yang melakukan penyuapan.

Oleh karena itu, delik suap dikualifikasikankan dengan delik jabatan karena suatu pemberian sesuatu atau janji pasti berhubungan dengan jabatan seseorang.

Pemberantasan delik suap memang sulit karena melibatkan kesepakatan tersembunyi antara pemberi dan penerima, adanya budaya korupsi yang mengakar, kompleksitas hukum (terutama diranah swasta).

Suap telah menciptakan ketidakadilan dan merusak sistem pelayanan publik, sehingga butuh langkah sistemik termasuk pembuktian oleh Jaksa juga Terdakwa yang berhak membuktikan bahwa dia tidak melakukan delik suap dengan melakukan pembuktian terbalik.

Untuk tindak pidana korupsi berupa gratifikasi sebagaimana diatur pada Pasal 12B ayat 1 huruf a Undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi), status pembuktiannya jelas merupakan pembuktian terbalik, sebab secara normatif Terdakwa dibebankan untuk melakukan pembuktian dan pihak Jaksa tidak dibebani untuk melakukan pembuktian.

Pembuktian terbalik yang diatur pada pasal 12B ayat 1 huruf a ini adalah hak dari Terdakwa untuk melakukan pembuktian bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana gratifikasi yang berkaitan dengan suap sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa.

Status pembuktian pada pasal 12B ayat 1 huruf a dipertegas dengan pasal 37 UU Korupsi menyatakan, Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Sistem pembuktian terbalik dalam Pasal 37 UU Korupsi adalah berlaku sepenuhnya untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi. Konsekwensi hukum apabila Terdakwa mampu membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan adalah hasil pembuktian terbalik tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Kemudian, penjelasan Pasal 37 ayat 2 UU Korupsi meyatakan, ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).