Dalam pos

Ironisnya, Perwal tersebut menunjuk PTMP sebagai pengelola wisata air, padahal BUMD tersebut belum memiliki penyertaan modal untuk unit usaha baru. Syarat fundamental ini diatur dalam PP Nomor 54 Tahun 2017.

Raperda Penyertaan Modal yang seharusnya menjadi payung hukum justru masih dibahas di DPRD. Ini menunjukkan adanya upaya “mempercepat” aturan tanpa landasan hukum yang kuat.

“Ini bukan sekadar janggal. Penunjukan PTMP berpotensi bertentangan dengan prosedur pembentukan kebijakan publik. Masa Wali Kota tidak memahami aturan dasar BUMD hingga menabrak sejumlah aturan?” tegasnya.

Forkim juga mempertanyakan penunjukan PTMP, yang selama ini dikenal bergerak di sektor pasar dan parkir, untuk mengelola destinasi wisata air berisiko tinggi.

Perusahaan daerah tersebut dinilai tidak memiliki rekam jejak maupun kapasitas teknis yang relevan di industri pariwisata.

Secara normatif, kewenangan objek wisata berada di Dinas Pariwisata. Pemindahan kewenangan ke BUMD yang tidak memiliki kompetensi inti ini dicurigai sebagai bentuk pelanggaran prinsip good governance.

“Mengapa tiba-tiba dialihkan ke BUMD yang tidak memiliki pengalaman? Kebijakan ini bukan saja janggal, tetapi bertentangan dengan prinsip good governance. Kebijakan publik bukan percobaan bisnis,” katanya.

Melihat perpaduan antara dana publik, CSR swasta yang meragukan, dan proses kebijakan yang cacat hukum, Forkim mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan untuk segera turun tangan.

“Keterlibatan KPK dan Kejaksaan diharapkan memberi kepastian hukum dan mencegah potensi pelanggaran yang merugikan masyarakat, dan kami akan bersurat,” tandas Mulyadi.

Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kota Bekasi dan PT Miju Dharma Angkasa masih bungkam dan belum memberikan keterangan resmi terkait polemik dana CSR maupun legalitas Perwal 20/2025.

Proyek Kalimalang, meski digadang-gadang sebagai penggerak ekonomi, dinilai akan runtuh jika dibangun di atas prosedur yang tidak transparan dan melanggar aturan.

Porosbekasicom
Editor