Oleh: Naufal Al Rasyid, SH., MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
SALAH satu kontroversi yang disorot kalangan masyarakat sipil dalam KUHAP Baru adalah terletak pada Pasal 105, 112, 132, dan 124 yang memungkinkan penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, hingga penyadapan dilakukan tanpa izin pengadilan.
Sejatinya, penggeledahan, penyitaan, pemblokiran dan penyadapan memerlukan izin pengadilan. Namun, ada kemungkinan untuk melakukan tindakan tersebut tanpa izin terlebih dahulu jika berada dalam keadaan mendesak, dengan kewajiban untuk segera meminta persetujuan pengadilan setelahnya.
Seandainya izin ditolak, tindakan tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat bukti.
Oleh sebab itu, pembaruan mendasar dalam KUHAP Baru dengan perluasan jenis upaya paksa dari 5 menjadi 9, yaitu Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, Pemeriksaan surat, Pemblokiran, Pencekalan, Penyadapan, dan Penetapan Tersangka dari 9 upaya paksa tersebut, 7 di antaranya memerlukan izin Ketua Pengadilan.
Hanya penangkapan dan penetapan tersangka yang tidak memerlukan izin pengadilan karena penetapan tersangka belum ada perampasan kemerdekaan.
Sementara penangkapan agar calon tersangka tidak melarikan diri sehingga harus segera ditangkap tanpa membutuhkan birokrasi yang lama.
Menurut Prof. Edward O.S. Hiariej (dandapala.com, 01 Nov 2025), seluruh upaya paksa tetap dapat diuji melalui praperadilan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
Apabila penetapan tersangka dinyatakan tidak sah, maka seluruh upaya paksa terhadap orang tersebut harus digugurkan dalam waktu maksimal 3 hari.
Bahwa pembaruan KUHAP Baru bukan hanya revisi teknis, tetapi reformasi filosofis dan struktural atas sistem peradilan pidana Indonesia.
Ia berupaya mengakhiri ego sektoral antar penegak hukum, menjamin perlindungan HAM, dan menyesuaikan praktik hukum pidana nasional dengan standar keadilan modern.





Tinggalkan Balasan