PorosBekasi.com – Penertiban warga bantaran sungai dan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Bekasi, memicu polemik baru. Di saat rumah warga dan lapak usaha kecil dibongkar atas nama penataan kota, Pemerintah Kota Bekasi justru merencanakan pembangunan 87 kontainer UMKM di kawasan Wisata Air Kalimalang.
Kritik tajam pun dilontarkan Ketua Umum Forum Komunikasi Intelektual Muda Indonesia (Forkim), Mulyadi.
Ia menilai kebijakan ini mencerminkan standar ganda penegakan hukum dan krisis keadilan tata kelola pemerintahan terhadap kepemimpinan, Tri Adhianto.
Ia menilai kebijakan penertiban yang dilakukan tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan kepatuhan hukum. Dengan dalih penataan kota dan penegakkan hukum, para PKL dan rumah warga di bantaran sungai, digusur, namun di lokasi bantaran kali yang sama justru muncul proyek usaha berskala besar.
Forkim mengungkap Pemerintah Kota Bekasi menjalin kerja sama dengan PT Miju Dharma Angkasa melalui BUMD PT Mitra Patriot.
Perusahaan tersebut menjadi pemenang lelang pembangunan sekaligus pengelola Wisata Air Kalimalang, lalu membentuk entitas bernama TIRTA Kalimalang.
Melalui entitas itu, kawasan UMKM kuliner direncanakan dibangun dengan sekitar 87 unit kontainer yang berdiri di bantaran Kali Malang, tepatnya di kolong Tol Becakayu.
Bagi Mulyadi, kebijakan ini menunjukkan kontradiksi yang terang. Di satu sisi, warga kecil dipaksa patuh tanpa alternatif hidup yang jelas. Di sisi lain, proyek usaha justru diberi ruang di kawasan yang sama.
“Rakyat kecil digusur karena dianggap melanggar aturan, sementara rencana unit usaha di lokasi yang sama justru mendapat restu kekuasaan,” ujarnya, Senin (15/12/2025).
Forkim menegaskan, persoalan ini bukan semata soal estetika kota, melainkan konsistensi hukum. Mulyadi mempertanyakan mengapa aturan diterapkan keras kepada masyarakat kecil, tetapi lentur terhadap proyek yang didukung pemerintah daerah.







Tinggalkan Balasan