Oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Jayabaya

 

NEPAL baru saja mencatat sejarah unik. Untuk pertama kalinya, seorang perdana menteri didukung dan dipilih melalui aplikasi Discord—platform yang biasanya dipakai gamer atau komunitas hobi. Namanya Sushila Karki, mantan Hakim Agung yang dikenal bersih dari korupsi. Ia muncul sebagai pilihan generasi muda Nepal, terutama Gen Z, yang sudah jenuh dengan elit politik lama.

Mengapa lewat Discord? Karena anak muda Nepal merasa suara mereka selama ini tidak didengar. Mereka mengorganisasi protes, lalu memakai Discord untuk berdiskusi dan voting. Hasilnya: Karki terpilih sebagai pemimpin transisi.

Fenomena ini memberi pesan penting. Pertama, teknologi digital bisa menjadi alat demokrasi baru. Generasi muda tidak hanya turun ke jalan, tapi juga memanfaatkan ruang virtual untuk menyalurkan aspirasinya. Kedua, masalah legitimasi tetap ada. Dalam konstitusi, kedaulatan rakyat diwujudkan melalui pemilu yang sah. Voting di Discord belum tentu diakui secara hukum.

Dalam buku Hukum Tata Negara Indonesia karya Hedwig Adianto Mau dan Tinton Ditisrama dijelaskan, demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, tapi penyalurannya harus melalui mekanisme yang sah, misalnya pemilu.

Artinya, apa yang terjadi di Nepal bisa kita sebut sebagai bentuk “demokrasi darurat” atau “demokrasi digital.” Anak muda ingin membuktikan bahwa mereka punya suara. Tapi ujungnya, tetap pemilu 2026 yang akan menentukan sah tidaknya perubahan ini secara konstitusional.

Bagi kita di Indonesia, ada pelajaran yang bisa diambil. Teknologi digital bisa memperkuat partisipasi publik, tapi tetap harus dijaga agar sejalan dengan aturan hukum. Jika bisa diintegrasikan, demokrasi digital justru akan membuat rakyat lebih dekat dengan politik, tanpa kehilangan kepastian hukum.

Minggu 14 September 2025

 

Disclaimer: Opini ini di luar tanggung jawab redaksi

 

Porosbekasicom
Editor