Dengan penjelasan Pasal 37 ayat 2 UU Korupsi menunjukkan bahwa alat bukti yang digunakan pada pembuktian terbalik terhadap tindak pidana gratifikasi yang berkaitan dengan suap, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B ayat 1 huruf a UU Korupsi adalah alat bukti berupa keyakinan Hakim.
Berdasarkan teori hukum pembuktian menurut keyakinan Hakim bahwa Hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. (Lilik Mulyadi, 2013).
Hal-hal yang harus dibuktikan oleh Terdakwa adalah dakwaan Jaksa tentang perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa berupa menerima suap.
Pemberian suap yang dibuktikan oleh Terdakwa adalah tidak benar bahwa dirinya yang menerima suap atau benar Terdakwa yang menerima suap tetapi tidak ada hubungannya dengan jabatannya.
Secara normatif aturan tentang pembuktian terbalik dalam kasus tindak pidana korupsi telah diatur pada Pasal 12B ayat 1 huruf a, Pasal 37, Pasal 38B UU Korupsi. Dalam praktiknya, di persidangan bahwa pembuktian terbalik tersebut sangat jarang digunakan.
Dari pasal-pasal yang mengatur tentang pembuktian terbalik tersebut masing-masing memiliki unsur-unsur atau syarat-syarat artinya bahwa pembuktian terbalik tidak bisa diterapkan untuk semua bentuk tindak pidana korupsi.
Pembuktian terbalik dalam pembuktian kasus tindak pidana korupsi apabila dilihat dari segi aturan atau norma hukum yang mengatur tentang pembuktian terbalik tersebut sudah diatur dalam UU Kotupsi.
Pasal-pasal yang mengatur tentang pembuktian terbalik seperti yang dipaparkan di atas yaitu Pasal 12B ayat 1 huruf a, Pasal 37, Pasal 38 UU Korupsi.
Walaupun, pembuktian terbalik telah diatur dalam UU Korupsi, namun tidak menghapuskan kewajiban Jaksa untuk memberikan pembuktian yang berlawanan.
Norma hukum pembuktian terbalik pada kasus gratifikasi sebagaimana diatur pada Pasal 12B ayat 1 huruf a UU Korupsi bahwa yang membuktikan dakwaan Jaksa adalah pihak terdakwa, ini artinya pihak Jaksa tidak boleh membuktikan dakwaannya.
Namun, hal ini belum dilaksanakan oleh Hakim sebab Hakim tetap memerintahkan kepada Jaksa untuk membuktikan dakwaannya. Menurut Saipuddin Zahri (2013), pembuktian terbalik yang diklaim dapat mempermudah proses pembuktian dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut, belum diterapkan sepenuhnya dalam pemeriksaan perkara korupsi gratifikasi yang berkaitan dengan suap.
Sebab sistem pelaksanaan pembuktian terbalik itu sulit, secara logika dalam pembuktian secara negatif saja banyak terjadi kesalahan-kesalahan apalagi jika pembuktian terbalik tersebut diterapkan dapat diperkirakan proses pemeriksaan akan memakan waktu yang lama.
Delik suap, bukan perkara mudah dan pembuktiannya juga bukan semudah perkara biasa, pelakunnya pun berasal dari kalangan yang berpendidikan dan mempunyai jabatan, mereka sudah paham betul bagaimana menghilangkan jejak dan bukti-bukti hasil dari delik suap, sehingga pembuktian terbalik minim dilakukan karena ada berbagai kelemahan-kelemahan dalam penerapannya.
Sedangkan, menurut pandangan Indriyanto Seno Adji (2009), bahwa memang harus diakui perumusan Pasal 12B UU Korupsi ini dari sisi pendekatan substantif meniadakan makna asas pembalikan beban pembuktian manakala unsur yang dianggap sebagai bestandeel delict yaitu yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban dirumuskan secara tegas dan jelas pada Pasal 12B UU Korupsi, artinya kewajiban pembuktian adalah imperatif pada Jaksa penuntut umum, bukan pada diri Terdakwa lagi.
Untuk itu, delik suap harus dibuktikan oleh Jaksa dan tidah ada yang tersisa yang dibebankan kepada Terdakwa untuk dibuktikan sebaliknya.
logikanya, karena tentu tidak ada orang yang mau melaporkan diri bahwa dia telah menerima suap, dia telah menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan telah pula mendalikan jabatannya.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa norma hukum pembuktian terbalik yang ada pada Pasal 12B ayat 1 huruf a UU Korupsi, normanya sangat minim dan kemudian Hakim juga harus menerapkan secara maksimal karena Hakim juga tetap mewajibkan kepada Jaksa untuk tetap membuktikan dakwaannya dan sekaligus memerintahkan Terdakwa untuk melakukan pembuktian terbalik secara terbatas terhadap harta miliknya diperoleh secara sah sebagaimana Pasal 12B ayat 1 huruf a, Pasal 37, Pasal 38 UU Korupsi.
Jika, Terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa harta miliknya diperoleh dengan cara yang sah hal ini bisa dijadikan alasan bahwa Terdakwa telah melakukan delik suap.




Tinggalkan Balasan