Dalam pos

Oleh : Syafrudin, S.I.P

(Pemerhati Kebijakan Publik)

 

PRIVATISASI pengelolaan sumber daya negara dan daerah sejatinya digagas untuk menyeimbangkan dua hal: kesejahteraan rakyat dan keuntungan bagi negara.

Namun, dalam praktiknya, semangat kemaslahatan itu kerap terdistorsi oleh kepentingan sempit dan permainan elit birokrasi.

Alih-alih memperkuat pelayanan publik, banyak Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) justru berubah menjadi arena perebutan posisi dan keuntungan pribadi.

Kita bisa menengok bagaimana perjalanan panjang pengelolaan air bersih di Indonesia, dari PDAM hingga kini berganti wajah menjadi Perusahaan Umum Daerah (Perumda).

Air, sumber kehidupan, seharusnya dikelola dengan amanah dan profesional. Tujuan utamanya jelas: menjamin setiap warga dan pelaku usaha kecil hingga besar mendapatkan air bersih yang layak.

Namun idealisme itu kini mulai pudar, tergantikan oleh ambisi korporatis yang justru menjauhkan BUMD dari semangat pelayanan publik.

Transformasi PDAM menjadi Perumda, sesuai PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, memang dimaksudkan agar lebih efisien dan mandiri.

Bahkan, Pemprov DKI Jakarta berniat menjadikan Perumda airnya sebagai Perseroan Daerah (Perseroda)—berorientasi pada profit dengan dalih “profesionalisme”.

Tapi benarkah profit akan otomatis berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat? Atau malah mengundang lahirnya “BUMD rasa swasta”, di mana rakyat hanya jadi penonton sementara keuntungan dinikmati oleh segelintir orang yang berada di lingkar kekuasaan?
Contoh paling nyata tampak di Bekasi.

Perumda Tirta Bhagasasi Kabupaten Bekasi memperoleh kompensasi Rp150 miliar dari hasil akuisisi asetnya yang berada di wilayah Kota Bekasi, dibayar bertahap dari APBD Kota Bekasi pada 2022 dan 2024.

Uang rakyat yang nilainya fantastis ini seharusnya menjadi modal untuk memperkuat layanan air bersih bagi masyarakat Kabupaten Bekasi.

Namun yang muncul justru kisah suram tentang carut-marut tata kelola, nepotisme, dan dugaan penyalahgunaan jabatan di tubuh perusahaan daerah.

Kasus penangkapan Direktur Usaha (Dirus) Perumda Tirta Bhagasasi adalah puncak gunung es dari persoalan mendasar: lemahnya sistem pengawasan dan bobroknya manajemen SDM.

Ironisnya, pencabutan SK pengangkatan Dirus oleh Bupati Bekasi sebagai Kuasa Pemilik Modal (KPM) baru dilakukan setelah persoalan membusuk ke permukaan. Padahal, berbagai indikasi “like and dislike” dalam pengangkatan jabatan manajerial sudah lama terdengar di internal perusahaan.

Lebih miris lagi, momentum akuisisi aset dan SDM Perumda Tirta Bhagasasi kepada Perumda Tirta Patriot Kota Bekasi juga diselimuti tanda tanya besar.

Dari delapan kantor cabang yang diakuisisi, enam sudah diserahkan, dan dua lagi Cabang Poncol serta Pondok Ungu menyusul.

Jika tiap cabang memiliki 50 pegawai, maka ada sekitar 400 pegawai yang seharusnya berpindah ke Tirta Patriot.

Logikanya, jumlah pegawai Bhagasasi mestinya berkurang signifikan. Namun yang terjadi, jumlahnya justru stagnan, bahkan muncul nama-nama pegawai baru yang diangkat beberapa bulan sebelum akuisisi dilakukan.

Inilah wajah nyata BUMD hari ini: lembaga yang didirikan atas nama rakyat, tapi justru dikendalikan dengan mentalitas “feodal modern”, di mana jabatan dibagi berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi.

Budaya profesionalisme yang seharusnya menjadi ruh BUMD tergantikan oleh politik balas budi dan jaringan kepentingan.

Publik tentu berhak mempertanyakan: apakah Perumda Bhagasasi dan Patriot benar-benar bekerja untuk melayani kebutuhan air masyarakat, atau sekadar menjadi “ladang empuk” bagi birokrat yang haus kuasa?

Jangan sampai uang rakyat yang dikucurkan ratusan miliar rupiah itu hanya berubah menjadi proyek bagi-bagi jabatan dan kontrak.

Kepala Daerah selaku Kuasa Pemilik Modal (KPM) kini memiliki tanggung jawab moral dan politik yang besar.

Evaluasi total terhadap SDM, sistem rekrutmen, hingga tata kelola keuangan BUMD mutlak dilakukan. BUMD bukanlah arena bermain bagi kepentingan pribadi.

Ia adalah instrumen publik yang seharusnya menegakkan prinsip efisiensi, transparansi, dan keberpihakan kepada masyarakat.

Sudah saatnya BUMD dikembalikan ke khitahnya—bukan sekadar “swasta rasa daerah” yang hanya memburu laba, melainkan pelayan rakyat sejati yang menjamin kemaslahatan publik dari setiap tetes air yang mengalir ke rumah-rumah warga.

Karena ketika BUMD berubah menjadi mesin politik dan nepotisme, maka yang kering bukan hanya pipa airnya, tetapi juga nurani pejabat yang mengelolanya.