Dalam pos

Melihat persoalan ini, tentu menimbulkan kegelisahan di pihak Aweng. Seiring dengan perkembangan situasi tersebut, Aweng diduga mulai menyusun strategi untuk mempertahankan posisi kekuasaannya. Salah satu langkah yang ditepat adalah dengan menjatuhkan Herpur.

Gerakan ini diyakini merupakan bagian dari skema terencana—yakni mempermalukan Herpur di hadapan publik melalui mobilisasi massa dan pengaruh jaringan kader.

Puncaknya, kericuhan pun pecah di Hotel Merapi Merbabu. Sekitar tujuh menit suasana berubah tegang—saling dorong terjadi, bahkan pecahan gelas melayang ke udara Insiden itu terjadi tepat ketika Wali Kota Bekasi, Tri, hadir sebagai tamu undangan dan tengah menyampaikan sambutan.

Momen tersebut membuat Tri harus menanggung malu di hadapan publik—meski mungkin tidak semalu mengangkat adik kandung dan adik iparnya ke jabatan strategis di pemerintahan.

Panitia akhirnya terpaksa menghentikan seluruh rangkaian acara. Tri, langsung dievakuasi keluar ruangan oleh petugas keamanan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kericuhan pun belum juga mereda.

Sekelompok massa aksi menuding Herpur, selaku Ketua PA GMNI Kota Bekasi, gagal menjaga stabilitas organisasi kader. Ia dianggap abai dan tidak bertanggung jawab terhadap dinamika internal yang memicu dualisme GMNI Setelah massa aksi mulai reda, suasana di lokasi perlahan kembali tenang.

Namun menariknya, Aweng justru baru muncul setelah kerusuhan benar-benar usai. Pertanyaan pun muncul, ke mana Aweng saat Wali Kota Bekasi, Tri, hadir dan kericuhan memuncak sampai dirinya di evakuasi?.

Kabar yang beredar menyebutkan bahwa Aweng tengah menyiapkan langkah lanjutan—membangun opini untuk memperbaiki citranya di hadapan Tri. seolah tampil sebagai “penyelamat” di tengah kekacauan internal antara PA GMNI dan DPC GMNI.

Persoalan ini semakin mempertegas kesan bahwa dinamika organisasi kini lebih berat sarat oleh kepentingan kekuasaan daripada nilai-nilai persatuan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para kader Marhaenis.

Para oknum mengatasnamakan alumni PA Gmni yang haus jabatan telah menjadikan organisasi sebagai alat tawar-menawar politik, bukan sebagai ruang pembelajaran dan pengabdian sosial.

Akibatnya, wajah GMNI Kota Bekasi sebagai organisasi perjuangan kerakyatan kian pudar. Apa yang dulu menjadi kebanggaan kader kini terancam berubah menjadi sekadar simbol kosong—karena dirusak oleh perilaku segelintir alumni yang mengutamakan kekuasaan di atas nilai perjuangan.

Minggu 12 Oktober 2025

 

Disclaimer: Opini ini di luar tanggung jawab redaksi