Dalam pos

Oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Jayabaya  

 

SETIAP akhir September, kita kembali diingatkan pada tragedi G30S/PKI 1965. Sejumlah perwira TNI AD diculik dan dibunuh, lalu muncul narasi tentang upaya kudeta yang dikaitkan dengan PKI. Peristiwa ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan juga ujian besar bagi empat fondasi bangsa: Pancasila, konstitusi, demokrasi, dan negara hukum.

Pancasila yang Dikhianati

Buku Hukum Tata Negara Indonesia (Hedwig & Tinton: 2024) menegaskan bahwa Pancasila adalah staatsfundamentalnorm, norma fundamental yang menjadi sumber segala hukum. Dengan posisi itu, Pancasila bukan sekadar simbol, tetapi landasan hidup berbangsa. G30S justru memperlihatkan bagaimana nilai Pancasila diabaikan.

Sila kedua, kemanusiaan adil dan beradab, dilanggar dengan penculikan dan pembunuhan. Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh musyawarah, juga ditinggalkan karena perebutan kekuasaan dilakukan dengan kekerasan.

Bahkan tokoh PKI pernah menyebut Pancasila sekadar “alat pemersatu” yang bisa digantikan komunisme. Pandangan itu jelas bertentangan dengan posisi Pancasila sebagai norma fundamental yang tak tergantikan.

Konstitusi yang Dikesampingkan

Konstitusi adalah pilar utama negara hukum. UUD 1945 tidak pernah mengenal kudeta sebagai mekanisme peralihan kekuasaan. Namun pada 1965, prinsip konstitusionalitas justru dikesampingkan. Kudeta berlangsung di luar hukum, dan hak asasi warga negara—terutama hak hidup—tidak terlindungi.

Sesudah peristiwa, banyak tindakan represif dilakukan melalui jalur politik dan militer, bukan melalui mekanisme hukum. Penangkapan massal tanpa pengadilan menjadi bukti lemahnya supremasi konstitusi di bawah bayang-bayang kekuasaan.

Demokrasi yang Terhenti

Kedaulatan rakyat adalah inti demokrasi Indonesia, yang semestinya dijalankan melalui perwakilan dan musyawarah. Namun G30S membuat demokrasi seolah berhenti. Pluralisme politik menyempit: PKI dibubarkan, sementara partai-partai non-komunis seperti Masyumi dan PSI sudah lebih dulu dibatasi. Kekuasaan terkonsentrasi, terutama di tangan militer. Demokrasi prosedural yang mestinya menjamin kompetisi politik sehat justru runtuh di hadapan logika keamanan.

Negara Hukum yang Melemah

Indonesia secara eksplisit ditegaskan sebagai negara hukum (rechtsstaat). Namun setelah G30S, hukum justru diperalat oleh kekuasaan. Ribuan orang ditahan tanpa proses pengadilan, bahkan sebagian dieksekusi tanpa due process of law.

Dalam kerangka negara hukum, hal ini adalah kegagalan kontrol konstitusional. Peradilan, parlemen, bahkan media tidak mampu menjalankan peran pengimbang. Negara hukum pun berubah menjadi negara kekuasaan (machtsstaat).