PorosBekasi.com – Polemik kelangkaan BBM non-subsidi di SPBU non-Pertamina semakin memperlihatkan lemahnya tata kelola energi nasional.

Alih-alih memberikan ruang bagi swasta untuk berkompetisi sehat, pemerintah melalui Kementerian ESDM justru mendorong SPBU non-Pertamina membeli BBM dari Pertamina. Langkah ini memperkuat dominasi Pertamina, sekaligus mengorbankan konsumen.

Menurut Jajang Nurjaman, Koordinator Lembaga Center for Budget Analysis (CBA), akar masalah ini tidak bisa dilepaskan dari kasus korupsi BBM oplosan Pertamina periode 2018–2023. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun, sementara kerugian konsumen dari selisih kualitas dan harga BBM mencapai sekitar Rp61,7 triliun. Bahkan, menurut survei Celios–LBH, kerugian masyarakat akibat Pertamax oplosan pada 2023 mencapai Rp47,6 miliar per hari atau sekitar Rp1,42 triliun per bulan. “Konsumen jelas kehilangan kepercayaan terhadap Pertamina, wajar bila mereka beralih ke SPBU non-Pertamina meski harga lebih mahal,” tegas Jajang.

Namun, pilihan konsumen kini kembali dibatasi. Berdasarkan kebijakan Kementerian ESDM, kuota impor BBM non-Pertamina hanya naik tipis, antara 7.000–44.000 kiloliter untuk seluruh badan usaha swasta.

Sebaliknya, Pertamina Patra Niaga mendapat tambahan impor hingga 613.000 kiloliter. Akibatnya, banyak SPBU non-Pertamina kehabisan stok, mengurangi jam operasional, bahkan menutup sementara. Padahal, pangsa pasar Pertamina Patra Niaga di segmen BBM non-subsidi sudah mencapai ±92,5%, sementara SPBU swasta hanya menguasai 1–3%.

“Dengan pemaksaan pemerintah, SPBU non-Pertamina akhirnya terpaksa membeli base fuel dari Pertamina dengan mekanisme joint surveyor. Pertanyaannya, siapa yang paling diuntungkan? Tentu saja Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri yang hanya duduk manis mendapat order besar. Ini strategi licik: setelah kepercayaan publik runtuh akibat korupsi oplosan, SPBU swasta malah dipaksa balik lagi ke Pertamina,” kata Jajang dalam keterangannya, Sabtu (20/9/2025).

CBA menilai kebijakan ini merugikan konsumen dan berpotensi memperkuat monopoli Pertamina. Kami mendesak pemerintah:

1. Menghentikan kebijakan pembatasan impor BBM non-subsidi yang merugikan SPBU swasta.

2. Memberikan ruang kompetisi sehat agar konsumen memiliki pilihan produk dan harga.

3. Menindak tegas praktik korupsi BBM oplosan Pertamina dan menuntaskan kerugian negara serta masyarakat.

4. Menyediakan mekanisme kompensasi bagi konsumen yang dirugikan akibat BBM oplosan.

“Negara harus berpihak kepada konsumen, bukan menjadi pelindung monopoli Pertamina. Kalau tidak, maka kelangkaan, harga mahal, dan kerugian konsumen akan terus berulang,” tutup Jajang.

Porosbekasicom
Editor