PorosBekasi.com – Kebijakan anggaran Pemerintah Kota Bekasi kembali memicu tanda tanya besar. Dokumen resmi Rencana Kerja Sekretariat Daerah (Setda) tahun 2025 menunjukkan pos penyediaan kebutuhan rumah tangga Sekretaris Daerah (Sekda) mencapai Rp2 miliar, melampaui alokasi untuk Wali Kota maupun Wakil Wali Kota.
Belanja rumah tangga kepala daerah tercatat berkisar Rp1,5 miliar per tahun. Namun, kebutuhan rumah tangga Sekda diproyeksikan menembus Rp2 miliar. Peraturan Wali Kota Bekasi No. 6 Tahun 2024 bahkan mencatat belanja modal alat kantor dan rumah tangga di lingkungan Setda mencapai Rp61,4 miliar.
Anomali anggaran ini memicu pertanyaan serius. Di tengah pelayanan publik yang masih jauh dari optimal, masyarakat justru dihadapkan pada pembengkakan belanja pejabat. Gelombang aksi protes pun semakin kerap terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
Menurut Nanda, Ketua Umum Suara Keadilan, fakta anggaran rumah tangga Sekda lebih besar dari kepala daerah menunjukkan lemahnya tata kelola keuangan.
“Ini bukan sekadar angka. Ketika Sekda justru mendapat alokasi rumah tangga Rp2 miliar, lebih tinggi dari Wali Kota yang hanya Rp1,5 miliar, publik berhak bertanya: logika apa yang dipakai? Dalam manajemen publik, hal ini jelas menyalahi prinsip proporsionalitas dan efisiensi,” ujarnya, Jumat 19 September 2025.
Nanda juga menyinggung peran Bagian Umum Setda yang semestinya menjaga efisiensi belanja. Alih-alih rasional, kebijakan anggaran justru memperlihatkan prioritas yang terbalik.
“Kabag Umum Setda mestinya menjaga agar belanja tetap rasional dan sesuai fungsi jabatan. Tetapi kenyataannya, alokasi untuk Sekda justru lebih tinggi dari Wali Kota. Ini bukan sekadar teknis belanja, melainkan soal tata kelola yang lemah,” tegasnya.
Ia menambahkan, keresahan publik yang kian menguat tidak boleh diabaikan begitu saja. Publik perlu jawaban dan transparansi, terutama untuk pos-pos anggaran.
“Pemerintah Kota, khususnya Kabag Umum Setda, mestinya lebih peka dan mau mendengar suara publik. Fungsi utama mereka adalah menjaga efisiensi dan proporsionalitas belanja, bukan membiarkan disparitas yang mencolok,” lanjut Nanda.
Suara Keadilan menegaskan, bahwa tanpa evaluasi serius, publik akan terus menilai belanja pejabat lebih diprioritaskan dibanding kebutuhan layanan dasar masyarakat.
“Kalau belanja kebutuhan rumah tangga pejabat melonjak terus tanpa kendali, yang dikorbankan adalah ruang fiskal untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Itu jelas kontraproduktif dengan semangat reformasi birokrasi,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan