Dalam pos

PorosBekasi.com – Pemerintah Kota Bekasi kembali menghidupkan proyek Revitalisasi Kalimalang dengan narasi besar, menjadikan Bekasi sebagai destinasi wisata air dan kuliner.

Proyek bernilai ratusan miliar rupiah ini akan dibiayai melalui kombinasi APBD, kontribusi CSR swasta, serta dukungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Rencana pembangunan mencakup pembongkaran 13 jembatan lama untuk diganti lima jembatan melengkung, penataan zona kuliner, pengadaan kapal wisata, hingga pemasangan lampu tematik di sepanjang bantaran. Ambisi tersebut dikemas dengan klaim menghadirkan kembali “peradaban air” ala kejayaan Tarumanegara.

Namun pertanyaan besarnya sekarang: apakah mimpi ini realistis, mengingat jejak kegagalan Pemkot Bekasi dalam merawat fasilitas publik.

Taman Tarum Bhagasasi misalnya, yang disebut sebagai revitalisasi Kalimalang tahap I, dibangun sejak 2019 dengan anggaran sekitar Rp22 miliar dari Kementerian PUPR. Proyek ini sempat dielu-elukan sebagai “Cheonggyecheon versi Bekasi” dan diresmikan pada April 2022 oleh Plt Wali Kota Tri Adhianto bersama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Kini, hanya tiga tahun berselang, kondisinya berubah menjadi ruang publik terbengkalai. Sampah menumpuk, fasilitas rusak, rumput liar menutupi jalur pedestrian. Taman yang seharusnya jadi kebanggaan justru menjadi simbol kelalaian pemerintah daerah.

Menurut Nanda, Ketua Umum Suara Keadilan (SAKA), kegagalan ini seharusnya menjadi bahan refleksi. “Membangun dengan anggaran besar tidak otomatis berarti mampu merawat. Tanpa tata kelola pemeliharaan yang jelas, fasilitas publik mudah kehilangan nilai manfaat bahkan berubah menjadi beban warga,” ujarnya, Rabu (27/8/2025).

Nanda menilai Bekasi kerap mengulang pola: proyek megah dikerjakan dengan seremoni penuh sorotan, anggaran terkuras, namun pasca peresmian perhatian publik meredup. Yang tersisa hanyalah fasilitas yang mangkrak.

“Kalau strategi pemeliharaan jangka panjang tidak disiapkan, maka jembatan ikonik, kapal wisata, hingga lampu tematik hanya akan jadi aset rapuh dengan usia pendek,” tegasnya.

CSR, Kontraktor, dan Konflik Kepentingan

Sorotan lain mengarah pada kontribusi CSR senilai Rp36 miliar dari PT Miju Dharma Angkasa. Perusahaan ini bukan hanya disebut sebagai investor, melainkan juga kontraktor pelaksana proyek, posisi ganda yang rawan konflik kepentingan.

Publik mempertanyakan kapasitas PT Miju, sebab informasi mengenai rekam jejak dan skala bisnis perusahaan masih minim. Bahkan beredar kabar bahwa perusahaan tersebut hanya bergerak di sektor kuliner.

Selain itu, proyek ini juga melibatkan PT Mas Baja Indonesia sebagai penyedia teknologi konstruksi. Keterlibatan perusahaan ini menambah bumbu politik karena Direktur Utamanya, Miing Bagio, adalah politisi senior.

Kehadiran figur politik dalam lingkaran proyek ratusan miliar menimbulkan pertanyaan lanjutan: apakah revitalisasi Kalimalang benar-benar lahir dari kebutuhan publik, atau sekadar proyek politik berbalut jargon pembangunan?

Warisan Gagal yang Diulangi?

Wacana melanjutkan proyek Kalimalang sebagai “warisan pembangunan” juga dinilai problematis. Sebab, warisan sebelumnya berupa taman terbukti gagal dipelihara.

“Melanjutkan pola lama tanpa pembenahan hanya akan mewarisi kelemahannya juga. Kalau pembangunan hanya berhenti pada pencitraan dan peresmian, warga yang menanggung akibatnya, ruang publik kehilangan fungsi, anggaran terserap tanpa hasil berkelanjutan,” jelas Nanda.

Menurut Nanda, seharusnya Pemkot Bekasi tidak lagi terjebak pada proyek pencitraan, melainkan fokus memastikan fasilitas publik yang ada tetap berfungsi. Transparansi penggunaan anggaran, kepastian siapa yang bertanggung jawab merawat, serta jaminan operasional berkelanjutan adalah syarat mutlak sebelum meluncurkan megaproyek baru.

“Kalau itu tidak dipastikan, Wisata Air Kalimalang hanya akan menjadi panggung sementara, indah di awal, tapi berakhir sebagai monumen baru kelalaian tata kelola publik,” pungkasnya.

Porosbekasicom
Editor