Dalam pos

PorosBekasi.com – Bau menyengat yang berasal dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di kawasan Pasar Fresh Market, Cikunir, Jati Asih, Kota Bekasi, kian membuat warga gerah.

Penumpukan sampah akibat kapasitas TPS yang tidak memadai dinilai mencemari lingkungan dan merampas kenyamanan warga.

Menurut Inay, salah satu warga terdampak, keluhan sudah dilayangkan ke pengelola pasar, pengurus RT/RW, hingga petugas lingkungan. Namun, respons yang diterima dinilai jauh dari memuaskan.

“Pengangkutan sampah di sini hanya dilakukan dua minggu sekali. Akibatnya, sampah menumpuk dan baunya menyengat. Kondisi ini semakin berat jika hujan turun, bau busuk tercium hingga 100 meter dari pusat bau/TPS,” keluhnya, Selasa (12/8/2025).

Warga menuding Pemerintah Kota Bekasi, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH), lalai melakukan monitoring dan evaluasi. Meski kapasitas TPS terbatas, tidak ada penyesuaian frekuensi pengangkutan untuk mencegah overload.

Padahal, Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah, yang telah diubah melalui Perda Nomor 2 Tahun 2021, secara tegas mewajibkan pemerintah daerah menyediakan sarana dan prasarana pengelolaan sampah yang layak, sekaligus mengawasi pengumpulannya.

Pasal 43, bahkan mengatur hak warga atas pelayanan yang baik, berwawasan lingkungan, serta kompensasi jika terdampak negatif.

Selain itu, Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 10 Tahun 2021 menetapkan, bahwa setiap pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenisnya harus memenuhi standar lingkungan yang berlaku.

Minimnya pengangkutan dan keterbatasan fasilitas TPS di Cikunir dinilai bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan potensi pelanggaran hukum terhadap kewajiban pemerintah dalam menjamin hak warga atas lingkungan yang sehat.

Adapun sejumlah tuntutan warga, antara lain pengangkutan sampah dilakukan minimal setiap hari sesuai volume sampah. Penambahan atau perluasan TPS yang memadai di sekitar Pasar Fresh Market.

Kemudian monitoring berkala dan evaluasi bersama warga, disertai mekanisme pelaporan yang jelas, serta kompensasi bagi warga terdampak, sesuai amanat Pasal 43 Perda 15/2011.

Warga mendesak Pemkot Bekasi mengambil langkah cepat dan tegas sebelum masalah ini menjelma krisis kesehatan lingkungan yang lebih besar.

Krisis Sampah TPA Sumurbatu

Ilustrasi: Kondisi TPA Sumurbatu, Bantargebang, Kota Bekasi, semakin mengkhawatirkan dan tak memadai lagi untuk menampung sampah/Net.

Sebelumnya, Dosen Universitas Islam 45 Bekasi, Harun Al Rasyid, menyoroti persoalan krisis sampah di TPA Sumurbatu, Bantargebang. Menurutnya, ini bukan sekadar soal teknologi, melainkan masalah mendasar pada kesadaran warga dalam memilah sampah sejak dari rumah.

“Model link pengelolaan sampah berbasis RW atau hulu harus serentak dan konsisten dilaksanakan sehingga di tingkat hilir berlangsung mudah,” ujarnya, Minggu, 10 Agustus 2025.

Harun menegaskan, penanganan harus komprehensif, melibatkan publik, dan disertai intervensi kepala daerah yang berkomitmen kuat. Ia mendorong penerapan sanitary landfill untuk mengurangi risiko longsor, kebakaran, serta dampak kesehatan warga sekitar, sambil membuka area pembuangan baru.

Bagi Harun, Pemkot Bekasi perlu melangkah lebih berani dengan teknologi tinggi yang mampu mengolah 1.500 ton sampah harian menjadi zero waste sekaligus merecovery ratusan ribu ton tumpukan lama.

Dari berbagai kajian, menurutnya, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menjadi opsi paling realistis, meski ada tantangan harga jual listrik yang lebih mahal dibanding tarif normal PLN.

“Misal, PLN biasanya beli per-KWH seribu rupiah, menjadi Rp1.500, kan khawatir jadi temuan kenapa membeli yang lebih mahal,” jelasnya, dikutip dari akun Seputaran Kelurahan Sumurbatu Bantargebang.

Harun mengusulkan, akan lebih bijak jika listrik, BBM, atau gas hasil olahan sampah itu digratiskan untuk masyarakat. Ia juga mendorong Pemkot Bekasi menggandeng perguruan tinggi untuk kajian menyeluruh agar pengelolaan sampah tak lagi terjebak solusi tambal sulam.

Porosbekasicom
Editor