PorosBekasi.com – Di masa Bekasi belum disesaki beton dan lampu pertokoan serta gedung-gedung pencakar langit, ada seorang lelaki renta yang berjalan perlahan di tepi kali, tanpa sorban, tanpa nama besar, hanya tongkat dan langkah sunyinya.
Tak ada yang menyebutnya ustaz, apalagi kiai. Ia hadir seperti bayang-bayang, tak terlihat tapi terasa. Warga sekitar mengenalnya sebagai Syekh Muhammad Suhaimi, seorang sufi yang lebih memilih sepi daripada sorotan.
Namun dzikirnya diyakini masih bergema di jiwa murid-murid tersembunyi, yang kini tersebar di setiap penjuru kota.
Asal yang Terlupakan, Ajaran yang Mengakar
Asal-usul Syekh Muhammad Suhaimi tak pernah diketahui secara pasti. Ia datang sebagai pendatang, tanpa jejak digital, tanpa riwayat resmi.
Namun satu yang diyakini, beliau merupakan murid dalam jalur Thariqah Syattariyah dari Pamijahan, dari Syaikh Abdul Muhyi, salah satu mursyid besar Tanah Sunda. Meski tubuhnya menyepi di pinggir kota, dzikirnya menjangkau langit.
Ia mengajarkan murid-muridnya dzikir nafas, bukan dengan suara keras, tapi zikir dalam napas, dalam diam, dalam hening. Zikir yang menyucikan jiwa tanpa harus terdengar telinga.
“Dzikir diam adalah suluk sejati. Bukan karena suara yang keras engkau dekat dengan Allah, tapi karena hatimu telah menyatu dalam fana,” demikian petuahnya.
Penjaga yang Tak Terlihat
Di masa pendudukan Belanda dan Jepang, di saat banyak orang mengangkat senjata, Syekh Suhaimi justru mengangkat keheningan.
Ia mengajarkan bahwa melawan tak selalu dengan tombak, tetapi juga dengan dzikir yang menggetarkan langit dan menundukkan musuh.
Banyak yang percaya, Bekasi tak pernah benar-benar bisa direbut penjajah karena keberadaan beliau dan murid-muridnya, yang menjaga wilayah dengan tirakat dan wirid malam. Tak terlihat, namun nyata.
Makam dan Warisan Sunyi
Hari ini, beliau telah tiada. Tubuhnya terbaring damai di tepi Kali Bekasi, tak jauh dari tempat ia biasa menyendiri. Di sanalah para peziarah datang, diam-diam berdoa, meyakini bahwa ruhnya masih menjaga kota.
Sebuah masjid kini berdiri, Masjid Muhammad Suhaimi, menjadi penanda bahwa ada yang pernah hidup bukan untuk terkenal, tapi untuk menyambungkan manusia kepada Rabb-nya. Warisan beliau tidak tertulis, tidak viral, dan tidak berbentuk institusi.
Namun Mang Encup, salah satu murid dan penerus ajarannya, masih setia membimbing. Ia tidak mengajarkan kekerasan, tapi mengajak umat untuk senantiasa berdzikir, sebab dzikir adalah perisai ruhani bangsa, pemersatu umat, dan kekuatan sejati Nusantara.
Dari Dzikir Menuju Perjuangan
Perjalanan Syekh Suhaimi adalah pelajaran penting bahwa dzikir bukan pelarian, melainkan landasan perjuangan. Dari kesunyian lahir kekuatan.
Dari diam lahir keberanian. Dan dari menyepi lahir keteguhan untuk menjaga tanah air, dengan jiwa yang bersih dan ruh yang menyala.
Tinggalkan Balasan