PorosBekasi.com – Skandal panas kembali membara dari jantung Pemerintahan Kota Bekasi. PT Migas Bekasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang seharusnya jadi kebanggaan, justru menyeret banyak pihak dalam pusaran dugaan korupsi, kolusi, dan pelanggaran hukum yang membahayakan keuangan negara.
Audit investigatif BPKP, laporan ke KPK, hingga putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang diabaikan, jadi bukti bahwa kasus ini bukan sekadar persoalan administratif, tapi bom waktu hukum yang bisa meledak kapan saja.
“Jejak Gelap” Laporan Keuangan PT Migas
Sejak didirikan tahun 2009, PT Migas Kota Bekasi nyaris tak transparan. Minimnya informasi publik, membuka potensi terjadinya praktik korupsi di tubuh BUMD milik Pemerintah Kota Bekasi yang bergerak di sektor energi ini.
Selama lebih dari satu dekade beroperasi, PT Migas hanya sesekali muncul ke permukaan, seperti dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahun buku 2024. Dalam laporan itu, perusahaan mengklaim telah menyetor dividen senilai Rp 3,7 miliar kepada Pemkot Bekasi, terdiri dari Rp 300 juta pada 2023, Rp 1,1 miliar pada 2024, dan Rp 2,3 miliar di tahun 2025.
Klaim tersebut disambut pujian oleh Wali Kota Bekasi Tri Adhianto. Ia bahkan menyarankan agar BUMD lain mencontoh capaian PT Migas.
“Saya rasa BUMD lain juga bisa meniru kinerja PT Migas yang mengejar progres capaian dari kondisi jauh dari harapan hingga bisa mengembalikan keadaan menjadi tren positif dan memberikan keuntungan untuk pendapatan daerah,” kata Tri Adhianto dalam keterangan pers Pemkot Bekasi, baru-baru ini.
Namun, pujian tersebut tak menyurutkan kritik tajam dari kalangan pengawas independen. Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Trigara Nusa (Tri Nusa), Maksum Alfarizi atau Mandor Baya, menyatakan bahwa masyarakat berhak mengetahui lebih dari sekadar laporan keuangan tahunan.

“Jangan kita hanya disuguhkan informasi soal kinerja keuangan PT Migas. Tapi suguhkan pula perjalanan mereka selama ini, selama lebih dari sepuluh tahun tidak menghasilkan apa-apa untuk Pemkot Bekasi,” ujarnya, Selasa (22/7/2025).
Maksum menyebut PT Migas menyimpan banyak masalah yang tak kunjung terselesaikan. Salah satunya adalah kerja sama operasi (KSO) dengan Foster Oil Energy, perusahaan asal Singapura, yang kini menjadi sorotan utama. Kerja sama tersebut berlangsung dari 2009 hingga 2019 dengan banyak kejanggalan.
Ia mengacu pada hasil audit investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tertanggal 14 Februari 2020, yang mengungkap adanya penyimpangan prosedur dan pelanggaran hukum dalam proses penunjukan Foster Oil sebagai mitra PT Migas.
“Padahal sesuai aturan, kerjasama tersebut harus melalui persetujuan DPRD, mengingat kerjasama itu menyangkut aset publik,” tegasnya.
Selain itu, isi perjanjian kerja sama atau Joint Operation Agreement (JOA) disebut tidak sesuai dengan Perda Kota Bekasi Nomor 9 Tahun 2009 dan menyebabkan kerugian bagi daerah.
Tak hanya soal masa lalu, proses renegosiasi kontrak PT Migas dan Foster Oil yang dilakukan di tengah sengketa hukum juga dinilai mencurigakan. Renegosiasi itu menghasilkan skema pembagian hasil 80 persen untuk Foster Oil dan hanya 20 persen bagi PT Migas.
“Renegosiasi kontrak PT Migas dan Foster Oil penuh kejanggalan. Makanya kami sempat melaporkan persoalan ini ke KPK dan saat ini laporan masih terus didalami karena ada kemungkinan terjadi penyimpangan,” papar Mandor Baya.
Menurutnya, praktik korupsi di tubuh BUMD energi bukan hal baru. Ia mencontohkan kasus korupsi PT Migas Utama Jabar (MUJ) dengan nilai kerugian Rp 86,2 miliar serta skandal di Perusahaan Daerah Petrogas Persada Karawang yang juga menimbulkan kerugian besar.
“Kalau melihat dua kasus tadi, bukan tidak mungkin hal ini terjadi di PT Migas Kota Bekasi. Apalagi bicara sektor energi khususnya minyak dan gas, bicara soal uang yang tidak sedikit. Karena itu kami meminta penegak hukum memantau aktifitas PT Migas Kota Bekasi,” tandasnya.
Di sisi lain, Direktur Utama PT Migas, Apung Widadi, menyebut potensi pendapatan PT Migas di masa depan sangat besar, baik dari dividen hasil kerja sama maupun dana bagi hasil dari pemerintah pusat.
“Berkat arahan Pak Wali, renegosiasi dan perpanjangan dengan KSO berhasil kami lakukan dengan perubahan kesepakatan yang semula 90:10 menjadi 80:20. Berkat itu juga, penyertaan modal tahun 2009 senilai Rp 3,1 miliar, berhasil kami kembalikan ke Pemkot Bekasi,” katanya.
Dengan riwayat panjang permasalahan dan potensi keuangan besar yang diklaim akan masuk ke kas daerah, sorotan terhadap PT Migas Bekasi dipastikan tak akan surut. Masyarakat dan lembaga pengawas kini menunggu langkah tegas aparat penegak hukum.

KPK Didesak Bongkar Kerugian Rp 278 Miliar
Desakan terhadap KPK juga datang dari Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (Kompak) dan Center for Budget Analysis (CBA), yang menyoroti dugaan korupsi dalam pengelolaan Lapangan Migas Jatinegara dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 278 miliar.
“Izma A Bursman selaku Managing Director Foster Oil & Energy Pte. Ltd dan Dhan Akbar Siregar, mantan General Manager KSO, adalah pihak yang patut diduga bertanggung jawab atas kerugian negara yang mencapai sekitar Rp 278 miliar,” ungkap Ketua Kompak, Gabriel Goa.
Sementara Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi, mempertanyakan ketimpangan antara pendapatan besar perusahaan dan dividen kecil yang disetor ke Pemkot.
“Di tahun 2020 saja, pendapatan Foster Oil & Energy mencapai Rp 5,1 miliar per bulan, tapi anehnya, baru tahun ini PT Migas Bekasi hanya menyetor Rp 300 juta sebagai dividen ke kas daerah,” ujar Uchok.
“Apalagi Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono malah menyatakan bahwa persoalan hukum antara Foster Oil & Energy dengan PT Migas sudah selesai dan bangga dividen Rp 300 juta bisa disetor ke PAD. Ini jelas membingungkan publik,” tambahnya.
CBA menuntut KPK memanggil semua pihak yang terlibat, termasuk Apung Widadi selaku Managing Director Foster Oil & Energy yang baru, serta Wali Kota Bekasi.
“Rakyat Bekasi berhak tahu ke mana hasil sumber daya alam mereka mengalir. Jangan sampai sumber daya strategis dikuasai dan dinikmati oleh pihak asing, sementara rakyat hanya mendapat sisa-sisanya,” tegas Uchok.

Renegosiasi Migas Janggal, DPRD Bekasi Bungkam
Audit investigatif BPKP mengungkap penyimpangan dalam kerja sama operasi (KSO) antara PD Migas Kota Bekasi dan Foster Oil & Energy (FOE). Berdasarkan temuan itu, Pemkot Bekasi sempat memutus kontrak secara sepihak. FOE menggugat balik hingga kasasi, namun kandas di Mahkamah Agung melalui Putusan No. 985 K/PDT/2022.
Ironisnya, sebelum putusan kasasi terbit, Plt Wali Kota Bekasi diduga melakukan kesepakatan damai (dading) dan melanjutkan renegosiasi KSO tanpa persetujuan DPRD. Hasil renegosiasi pun kontroversial: 80 persen untuk FOE dan hanya 20 persen bagi PD Migas, menyimpang dari target semula 70:30.
Sejumlah elemen masyarakat pun melaporkan dugaan praktik KKN ke KPK. Namun, DPRD Bekasi tampak enggan bersuara.
“Tanya ke Komisi III,” ucap Ketua DPRD Kota Bekasi, Sardi Effendi, singkat.
Kepala Bagian Hukum Pemkot, Dyah Kusumo Winahyu, juga menolak berkomentar saat dikonfirmasi.
“Maaf yah, saya sedang menyetir,” kilah Dyah.
Sementara Kepala Bagian Ekonomi Setda, Chondro Whibowo, justru menyatakan:
“Semuanya kan sudah selesai jadi kenapa dipersoalkan lagi. tidak ada kerugian negara atau unsur korupsinya, tidak ada,” akunya.
Lebih mengejutkan, Kepala Inspektorat Kota Bekasi, Lis Wisnyuwati, mengaku belum menerima dokumen renegosiasi atau perjanjian baru.
Audit BPK Bongkar Kejanggalan Kerja Sama
Audit investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) membongkar serangkaian penyimpangan dalam penunjukan Foster Oil and Energy sebagai mitra PD Migas Kota Bekasi dalam kerja sama operasi (KSO) dengan PT Pertamina EP untuk periode 2009–2019.
Temuan tersebut tertuang dalam Laporan Hasil Akhir Investigatif (LHAI) BPKP Nomor LHAI-7/D502/2/2020 tertanggal 14 Februari 2020, yang menyebut adanya pelanggaran prosedur dan aturan hukum, termasuk dugaan keterlibatan mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhamad alias M2 sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses penunjukan Foster Oil and Energy kala itu.
Salah satu poin krusial dalam audit adalah tidak ditemukannya persetujuan DPRD Kota Bekasi atas Nota Kesepahaman (MOU) antara Wali Kota Bekasi dan Foster Oil yang ditandatangani pada 27 Maret 2009. Padahal, kerja sama menyangkut aset publik dan seharusnya melalui persetujuan legislatif.
“Tidak ada persetujuan DPRD Kota Bekasi atas Kerjasama atau MOU antara Pemkot Bekasi dengan Foster Oil Energy 2008–2009,” tegas M. Ridwan, Sekretaris DPRD Kota Bekasi, dalam keterangannya kepada BPKP.
Tak hanya itu, keberadaan dokumen MOU tersebut juga dipertanyakan Kepala Bagian Hukum Pemkot Bekasi saat ini, Dyah Kusumo Winahyu.
“Saya sudah mengecek di buku register dan arsip Bagian Hukum Pemkot Bekasi, dokumen nota kesepahaman antara Pemkot Bekasi dengan FOE tidak ada dalam arsip dan buku register,” ungkap Dyah, pada 28 Agustus 2019.
Hal senada juga disampaikan M Jufri, Kabag Hukum Pemkot Bekasi periode 2009–2011 yang mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan kerja sama tersebut. “Saya tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan kerjasama Pemkot Bekasi dan PD Migas Kota Bekasi dengan Foster Oil Energy Pte.Ltd,” tegasnya.
Audit juga mengungkap kejanggalan serius dalam Joint Operation Agreement (JOA) antara PD Migas Kota Bekasi dan Foster Oil. BPKP menyebut sejumlah pasal dalam JOA bertentangan dengan Perjanjian KSO bersama PT Pertamina EP, bahkan bertentangan dengan Perda Kota Bekasi Nomor 9 Tahun 2009.
JOA ditandatangani pada 13 Januari 2011, sebulan sebelum KSO dengan Pertamina EP diteken. Artinya, PD Migas sudah lebih dulu membuat komitmen dengan Foster Oil sebelum memiliki legalitas resmi bekerja sama dengan Pertamina.
Kondisi ini menyebabkan PD Migas kehilangan kendali operasional dan keuangan atas Lapangan Jatinegara, padahal wilayah itu merupakan bagian dari Wilayah Kerja Pertamina EP.
Lebih jauh, pembagian hasil dinilai tidak adil dan membebani keuangan PD Migas. Skema pembiayaan menyudutkan PD Migas menjadi pihak yang berutang (financial support) kepada Foster Oil and Energy.
Rekonstruksi Peristiwa dan Dugaan Intervensi
Audit BPKP juga memetakan kronologi awal munculnya nama Foster Oil dalam kerja sama migas. Pada 3 Januari 2009, perusahaan tersebut mengirimkan surat penawaran kerja sama kepada Wali Kota. Dua bulan kemudian, profil perusahaan diserahkan, dan pada 27 Maret 2009 ditandatangani MOU antara Pemkot dan Foster.
Menariknya, dalam keterangannya kepada BPKP, mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad menyebut adanya pertemuan dengan pihak Pertamina dan dua warga negara Singapura yang mewakili Foster Oil.
“Pegawai Foster Oil and Energy yang akan menggarap lapangan sumur gas Jatinegara, Kami awalnya tidak tau jika ada sumur di sana, setelah itu ada rapat berkali-kali, Pertamina dan Kementerian ESDM mengarahkan kami untuk membuat BUMD,” ujarnya kepada BPKP, pada 19 September 2019.
Pernyataan ini menunjukkan kemungkinan intervensi dari instansi pusat untuk mempercepat pembentukan BUMD dan kerja sama dengan mitra asing yang belum jelas rekam jejaknya.
Sementara keterangan eks Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, pada 13 September 2019 menyatakan jika kontrak atau perjanjian seharusnya terdaftar pada bagian hukum Pemkot Bekasi.
“Ada nomornya. Jika perjanjian atau MOU tidak terdaftar di Bagian Hukum, maka MOU tersebut bukan kesepakatan antar institusi Pemerintah Kota Bekasi dengan pihak ketiga, namun hanya perjanjian perorangan,” ungkapnya kepada BPKP.
BPKP Rekomendasikan Negosiasi Ulang, Gugatan FOE Berakhir di MA
Laporan BPKP merekomendasikan Pemkot Bekasi untuk melakukan negosiasi ulang JOA dengan Foster Oil and Energy dan menekankan pentingnya prinsip tata kelola yang baik, serta menjauhi praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Namun sebelum evaluasi terjadi, kerja sama diputus sepihak oleh Pemkot Bekasi, memicu gugatan dari Foster Oil di Pengadilan Negeri Bekasi. FOE sempat menang di tingkat PN dan PT, tapi akhirnya PD Migas Kota Bekasi menang di tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Sejumlah nama eks pejabat disebut berperan, seperti ZA, DS, MM, serta mantan anggota DPRD yang jadi direktur PD Migas, di antaranya Zubaidi Asnan, Sutriyono, Fikri Azis, dan Arief Nurjaman.
Tri Adhianto Damai dengan Foster Oil
Wali Kota Bekasi Tri Adhianto menyatakan konflik antara PD Migas dan Foster Oil & Energi telah “diselesaikan secara damai”. Namun, kelompok masyarakat Trinusa menduga perdamaian itu sudah terjadi diam-diam sejak 2022–2023, saat Tri masih menjabat Plt Wali Kota.
Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi, menilai pernyataan damai tak menjamin bebas dari konflik kepentingan dan korupsi. “Tenggang waktu tidak lama lagi, mereka akan berantem lagi untuk memperebutkan duit dari Lapangan Migas Jatinegara,” ujarnya, Minggu 6 Juli 2025.
Uchok menyoroti ketidaksesuaian JOA dan KSO dengan SK Dirut Hulu PT Pertamina, yang mensyaratkan mitra harus berpengalaman minimal enam tahun. Padahal, Foster Oil baru berdiri secara hukum pada 30 Juli 2008.
“Ini adalah dugaan maladministrasi serius,” tegasnya.
CBA meminta Kejaksaan Agung menyelidiki perjanjian yang diduga melanggar aturan, serta memanggil Tri Adhianto. “Ini bukan semata-mata soal damai atau tidak, tapi soal transparansi dan potensi kerugian negara dari kerja sama yang diduga melanggar aturan sejak awal,” kata Uchok.
Pernyataan damai tersebut juga dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung yang sudah inkrah. Dalam sistem hukum Indonesia, pelanggaran terhadap putusan MA merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap supremasi hukum dan dapat berimplikasi pada sanksi administratif hingga pidana.
Dading Dilakukan Sebelum Kasasi Diputuskan
Pemkot Bekasi belum memberikan klarifikasi atas pelaksanaan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 985 K/Pdt/2022, yang memenangkan PD Migas dan membatalkan dua putusan sebelumnya yang menguntungkan Foster Oil & Energy.
Alih-alih menjalankan amar putusan, justru muncul akta perdamaian (dading) antara PD Migas dan tergugat yang dibuat sebelum kasasi diputus. Hal ini dinilai bertentangan dengan hukum karena tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam putusan MA, sehingga berpotensi tidak sah.
Dalam audit investigatif BPKP No: SR-188/D5/02/2020, ditemukan tiga temuan krusial dalam kerja sama PD Migas dan FOE yang diduga merugikan pendapatan daerah dan menguntungkan pihak ketiga.
Namun, saat diminta klarifikasi, pejabat Pemkot saling lempar tanggung jawab.
“Coba hubungi bagian perekonomian selaku pembina BUMD, untuk pelibatan dalam rapat-rapatnya saya cek dulu bang,” elak Kepala BPKAD Darsono.
“Saat itu saya belum disini, jadi saya juga kurang begitu paham perihal itu. Dan saya juga tidak tau perihal addendum atau perjanjiannya seperti apa, termasuk putusan kasasi MA pun, saya belum tau,” kilah Kepala Bagian Ekonomi, Chondro Wibhowo.
Sementara Kepala Inspektorat, Lis Wisnyuwati, memilih bungkam saat dikonfirmasi. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa skandal PD Migas–FOE tidak hanya bermasalah secara administratif, tetapi juga berpotensi melanggar hukum dan perlu diselidiki aparat penegak hukum.

Putusan MA Diduga Diubah
Kelompok masyarakat Triga Nusantara (Trinusa) menyatakan kekecewaan atas perubahan isi Putusan MA Nomor 985 K/Pdt/2022 terkait sengketa PD Migas Kota Bekasi dan Foster Oil & Energy. Dalam direktori resmi MA, nama perusahaan tergugat berubah menjadi PT Prakarsa Sejahtera Alam.
“Ini sangat mencurigakan. Putusan kasasi MA itu bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap,” kata Ketua Trinusa Bekasi Raya, Maksum Al Farizi alias Mandor Baya, Kamis 4 Juli 2025.
Ia menduga ada permainan oknum pejabat Kota Bekasi di balik perubahan tersebut. Trinusa telah mengirim surat ke MA untuk meminta klarifikasi terbuka.
“Ini produk hukum negara, kok bisa berubah? Setelah surat ini, kami akan serahkan data lengkap ke Bareskrim Polri. Akan kami laporkan secara resmi,” tegas Mandor.
Ia juga menantang pernyataan Kepala Bagian Ekonomi Bekasi, Chondro Whibowo, yang menyebut laporan soal kerja sama PD Migas dan Foster Oil tak ditindaklanjuti KPK.
“Kami akan terus kawal laporan kami ke KPK. Jika KPK tak bergerak, kami akan aksi besar-besaran ke Gedung Merah Putih,” ujarnya.
Mandor menuntut pemeriksaan terhadap Dirut PT Migas dan Plt Wali Kota saat kerja sama berlangsung.
“Kami beri waktu kepada MA untuk memberikan klarifikasi terbuka. Jika tidak, aksi massa akan digelar dalam skala besar,” tandasnya.
Sebelumnya, Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah Kota Bekasi, Chondro Whibowo, dianggap tidak transparan dalam memberikan keterangan terkait Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 985 K/Pdt/2022 yang memenangkan PD Migas Kota Bekasi atas gugatan terhadap PT Foster Oil and Energy PTE Ltd.
Saat dikonfirmasi terkait sejauh mana dirinya mengetahui putusan tersebut, Chondro menyatakan tidak banyak memahami karena belum menjabat di posisi tersebut ketika kasus berjalan.
“Saat itu saya belum masuk ke bagian ekonomi, jadi saya kurang begitu faham secara detail, hanya sepengetahuannya saya, itu bukannya kerugian Negara atau korupsi, buktinya KPK hingga sekarang tidak menindaklanjuti laporan Trinusa,” ujarnya, Rabu, 2 Juli 2025.
Namun pernyataan tersebut berseberangan dengan surat resmi yang pernah ia tandatangani sendiri, yang isinya menjelaskan pokok-pokok isi Putusan Kasasi kepada Inspektorat Kota Bekasi.

Tri Adhianto Diduga Abaikan Putusan MA
Audit investigatif BPKP mengungkap penyimpangan serius dalam kerja sama PD Migas Kota Bekasi dengan Foster Oil & Energy (FOE). Dalam LHAI Nomor LHAI-7/D502/2020, BPKP menyoroti ketiadaan persetujuan DPRD atas MoU Wali Kota dan FOE tertanggal 27 Maret 2009.
Penunjukan FOE sebagai mitra juga dinilai melanggar SK Direktur Hulu Pertamina Nomor 241/D00000/2010-SO. Selain itu, isi Joint Operation Agreement (JOA) antara PD Migas dan FOE disebut bertentangan dengan Perjanjian KSO bersama Pertamina dan Perda Kota Bekasi Nomor 9 Tahun 2009.
Akibatnya, PD Migas kehilangan kendali operasional atas Lapangan Jatinegara dan hanya menerima bagi hasil USD 480.493,92 hingga Juli 2019, yang seluruhnya digunakan untuk membayar utang ke FOE. Sisa utang per 31 Juli 2019 tercatat lebih dari Rp 8,3 miliar.
BPKP merekomendasikan Pemkot Bekasi menindaklanjuti audit tersebut, namun belum ada langkah konkret hingga kini.
Sementara itu, putusan MA Nomor 985 K/Pdt/2022 telah menetapkan bahwa FOE wajib mengganti kerugian Rp 11,8 miliar kepada PD Migas. Namun, hingga saat ini belum ada penjelasan transparan dari Pemkot terkait pelaksanaan putusan tersebut.
Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi, menilai Wali Kota Bekasi Tri Adhianto melanggar prinsip negara hukum karena belum menjalankan putusan MA Nomor 985 K/Pdt/2022 terkait gugatan PD Migas terhadap Foster Oil Energy.
“Kami minta Kejaksaan Agung segera memeriksa Wali Kota Bekasi Tri Adhianto serta direksi PT Migas Kota Bekasi karena diduga mengabaikan putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap,” kata Uchok, Rabu 2 Juli 2025.
Uchok menyebut amar putusan mewajibkan Foster Oil mengganti kerugian Rp 11,8 miliar, namun hingga kini belum ada kejelasan dari Pemkot Bekasi. “Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Tidak ada lagi upaya hukum setelahnya,” tegasnya.
Menurutnya, pengabaian putusan bisa berujung sanksi pidana maupun administratif, termasuk pemberhentian kepala daerah jika terbukti melanggar sumpah jabatan.
Skandal PT Migas Bekasi bukan hanya soal maladministrasi. Ini soal potensi kejahatan terstruktur, dugaan pengabaian putusan hukum, dan persekongkolan sistemik yang mencederai rakyat.
Pertanyaannya, apakah KPK, Kejaksaan Agung dan MA, serta Komisi III DPR RI berani membongkar semua kebusukan dan oknum-oknum yang terlibat, atau ikut jadi bagian dari pembiaran skandal kejahatan?
Tinggalkan Balasan