Dalam pos

Oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H.
Pengajar Hukum Tata Negara, Universitas Jayabaya

Premanisme di Indonesia bukan lagi cerita kelam terminal, pasar, atau pelabuhan. Ia menjelma dalam rupa baru: mengenakan atribut ormas, membonceng izin keramaian, bahkan terhubung dengan kekuasaan lokal. Masyarakat tak hanya dibebani pungli, tetapi juga rasa takut. Negara pun, dalam banyak kasus, terlihat lambat atau bahkan abai._

Kondisi ini akhirnya direspons pemerintah dengan membentuk Satuan Tugas Terpadu Penanganan Premanisme dan Ormas Meresahkan. Satgas ini dikomandoi langsung Menko Polhukam dan melibatkan unsur TNI, Polri, Kemenko Perekonomian, hingga pemda. Langkah ini lahir dari keprihatinan atas maraknya intimidasi, pungutan liar, dan kekerasan yang mengganggu iklim investasi dan ketenteraman warga (Liputan6.com, 8 Mei 2025).

Namun, satu pertanyaan konstitusional penting muncul: mengapa negara baru bertindak ketika ekonomi terganggu, bukan sejak rakyat pertama kali merasa tidak aman?

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Hukum, dalam doktrin Rechtsstaat, bukan hanya alat kekuasaan, melainkan pelindung martabat manusia. Negara tidak boleh membiarkan rasa aman diserahkan pada ormas atau kekuatan informal. Ketika hukum tunduk pada kekuasaan jalanan, maka yang tegak bukan lagi hukum, melainkan ketakutan.

Premanisme adalah indikator lemahnya institusi negara. Ia tumbuh subur ketika aparat tak hadir, hukum tak ditegakkan, dan masyarakat dibiarkan bernegosiasi dengan ancaman. Banyak ormas kini menyeberang batas fungsi sosial ke praktik kriminal. Mereka mengatur distribusi logistik, menguasai proyek, dan memaksakan tenaga kerja. Di Batam, Karawang, bahkan di sekolah-sekolah di Tangerang Selatan, pemerasan berkedok koordinasi menjadi hal lumrah.

Lebih celakanya, premanisme kini tidak berdiri sendiri. Ada pembiaran, bahkan kolaborasi. Dalam banyak kasus, aparat lokal segan menindak karena ada beking atau karena “keseimbangan” politik setempat menguntungkan status _quo._

Secara tata negara, negara tidak bisa menyerahkan urusan keamanan ke kelompok masyarakat bersenjata atau berstruktur kekuatan. Negara yang tunduk pada tekanan informal kehilangan legitimasi sebagai pemegang kekuasaan yang sah. Inilah bentuk delegitimasi institusional, yang pelan-pelan menggerus kepercayaan publik terhadap negara hukum.

Pembentukan satgas terpadu bisa menjadi awal, tapi tak cukup. Yang dibutuhkan adalah:

1. Reformasi regulasi ormas agar tidak mudah dijadikan kedok premanisme.

2. Evaluasi kinerja aparat penegak hukum di daerah.

3. Perlindungan efektif terhadap pelapor dan korban.

4. Pemutusan mata rantai relasi ekonomi-politik antara elite lokal dan preman.

Premanisme bukan hanya kriminalitas; ia adalah kegagalan kolektif negara dalam menjalankan hukum. Bila negara terus menunda kehadiran nyatanya, rakyat akan mencari perlindungan alternatif dan itu pertanda awal dari hilangnya legitimasi negara.

Negara hukum tak bisa ditawar. Ia harus hadir, kuat, dan adil sebelum rakyat memutuskan bahwa negara hanya nama tanpa kuasa.

Minggu 11 Mei 2025

 

Disclaimer: Opini ini di luar tanggung jawab redaksi